Lagi-lagi tulisan agung, suamiku, mengenai apakah oriflame ini benar2 bisnis atau bukan? Diambil dari tulisan asli disini.
Happy reading.. :-)
-----@-----
"Apakah oriflame adalah bisnis yang riil?"
Gue akan mulai dengan mendefinisikan seperti apakah bisnis yang riil itu?
Bisnis yang riil, menurut gue, minimal harus punya 3 komponen:
- produsen
- produk barang / jasa
- konsumen
"Ya iya lah, tentu aja harus ada 3 komponen itu, masa gitu aja harus dijelasin lagi, sih?"
Oh jangan kira orang nggak akan terkecoh untuk hal yang sesederhana itu. Beberapa tahun yang lalu masyarakat pernah dihebohkan dengan sebuah 'peluang investasi' yang 'dijamin untung'. Peserta yang berminat tinggal membayar paket awal seharga (kalo gak salah) Rp. 400 rb, lantas mendapat 'hak reseller eksklusif' untuk menjual paket yang sama kepada orang lain. Dari setiap orang member baru yang kita rekrut dalam 'investasi' tersebut, maka kita akan dapet Rp. 100 ribu rupiah. Artinya, kalau kita berhasil merekrut 4 orang aja, kita udah balik modal dengan peluang untuk mendapat keuntungan berkali-kali lipat dari setoran awal kita.
Apakah peluang investasi semacam itu bisa betul-betul menghasilkan keuntungan? Jawabnya IYA.
Apakah peluang investasi itu adalah bisnis riil? Jawabnya TIDAK.
Alasannya sederhana: karena nggak ada produk yang diperjualbelikan.
Investasi semacam itu hanya bisa berjalan selama ada anggota baru yang direkrut. Kalau nggak ada lagi member baru bergabung, maka nggak ada lagi pemasukan. Dan akhirnya bubar. Investasi model beginian disebut skema piramid, alias pyramid scheme, atau ponzi scheme. Silakan googling sendiri kalo mau tau lebih banyak soal ini. Gue sendiri beberapa tahun yang lalu sempet iseng bikin blog tentang investasi model beginian, tapi udah lama gak gue update. Silakan diliat-liat di sini.
Tentunya dengan berjalannya waktu, orang semakin pinter bikin akal-akalan 'peluang investasi' sejenis. Maka mereka membuat seolah-olah ada produk riil yang diperjualbelikan, mulai dari e-book, voucher hotel, atau pulsa ponsel. Kita diiming-iming untuk bergabung dan menjadi 'reseller' produk-produk tersebut dan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat dari uang pendaftaran orang-orang yang kita rekrut.
Produsennya ada, produknya ada, konsumennya ada.
Lalu di mana salahnya?
'Salah'-nya adalah, apakah konsumennya riil.
Sekarang mari berpikir dengan kepala jernih dan pandangan obyektif: kalo elu ditawari 20 buah e-book berisi rahasia bisnis super dahsyat yang 'konon' nilainya mencapai Rp. 3 juta seharga hanya Rp. 200 ribu aja, apakah elu mau membelinya?
Mau?
Boss, sekarang ini eranya google, rapidshare dan 4shared. E-book macam apa sih yang nggak bisa kita dapetin secara gratisan? E-book itu kan ya... elektronic book, formatnya digital, nggak ada bentuk fisiknya. Artinya bisa dipindahtangankan dengan gampang lewat e-mail, rapidshare atau 4shared. Jangankan e-book 'rahasia bisnis' yang belum jelas ujung pangkal penulisnya. Komik-komik langka collector's item yang kalo dilelang bisa berharga ribuan dollar aja bisa dengan gampangnya kita sedot dari internet, kok. Jadi, sekalipun produknya betulan ada, konsumennya tidak riil. Maksud gue, nggak ada satupun orang yang waras dan/atau cukup berwawasan mau membeli produk-produk tersebut kalau tidak disertai embel-embel peluang mendapatkan keuntungan. Jangankan 200 ribu, disuruh bayar 10 ribu aja gue pun ogah. Dengan kata lain, yang dibeli orang bukanlah produknya, tapi peluang investasinya. Peluang investasi dengan produk yang tidak punya konsumen riil, bukanlah bisnis yang riil.
Lalu gimana dengan peluang investasi bisnis pulsa dan voucher hotel yang ditawarkan dengan cara yang sama?
Ada yang riil, ada yang enggak.Yang membedakan adalah harganya, dan sistem bagaimana elu bisa menarik keuntungan dari investasi tersebut.
Produknya mungkin aja riil berupa pulsa dan voucher hotel, tapi kalo harganya jauh di atas harga pasaran, maka kemungkinan itu bukanlah bisnis yang riil. Kenapa? Karena balik lagi seperti yang gue jelaskan sebelumnya: nggak ada konsumen yang mau membelinya kalau tidak disertai embel-embel peluang mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, kalopun ada orang yang beli, yang sesungguhnya mereka beli bukanlah produknya melainkan peluang investasinya.
Ciri ke dua dari bisnis yang tidak riil adalah: elu baru bisa mendapat keuntungan kalau ada member baru yang bergabung. Bisnis yang riil mampu menghasilkan keuntungan dengan kondisi stagnan / tidak berkembang. Contohnya, lagi-lagi, warung rokok. Kalo lu buka warung rokok, maka lu bisa dapet keuntungan setiap hari sekalipun lu hanya punya satu warung. Kalo lu punya duit lebih, lu bisa buka cabang dan memetik keuntungan lebih besar. Tapi kalo enggak, lu bisa bertahan dan terus memetik keuntungan dengan warung yang udah ada.
Tapi, gue tekankan sekali lagi, tetap ada aja peluang investasi dari bisnis pulsa dan voucher hotel yang riil kok.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah oriflame adalah bisnis yang riil?
Menurut gue, jawabannya adalah YA, karena:
Daripada kepanjangan, soal itu mending gue bahas di posting lainnya aja deh ya.
Happy reading.. :-)
-----@-----
"Apakah oriflame adalah bisnis yang riil?"
Gue akan mulai dengan mendefinisikan seperti apakah bisnis yang riil itu?
Bisnis yang riil, menurut gue, minimal harus punya 3 komponen:
- produsen
- produk barang / jasa
- konsumen
"Ya iya lah, tentu aja harus ada 3 komponen itu, masa gitu aja harus dijelasin lagi, sih?"
Oh jangan kira orang nggak akan terkecoh untuk hal yang sesederhana itu. Beberapa tahun yang lalu masyarakat pernah dihebohkan dengan sebuah 'peluang investasi' yang 'dijamin untung'. Peserta yang berminat tinggal membayar paket awal seharga (kalo gak salah) Rp. 400 rb, lantas mendapat 'hak reseller eksklusif' untuk menjual paket yang sama kepada orang lain. Dari setiap orang member baru yang kita rekrut dalam 'investasi' tersebut, maka kita akan dapet Rp. 100 ribu rupiah. Artinya, kalau kita berhasil merekrut 4 orang aja, kita udah balik modal dengan peluang untuk mendapat keuntungan berkali-kali lipat dari setoran awal kita.
Apakah peluang investasi semacam itu bisa betul-betul menghasilkan keuntungan? Jawabnya IYA.
Apakah peluang investasi itu adalah bisnis riil? Jawabnya TIDAK.
Alasannya sederhana: karena nggak ada produk yang diperjualbelikan.
Investasi semacam itu hanya bisa berjalan selama ada anggota baru yang direkrut. Kalau nggak ada lagi member baru bergabung, maka nggak ada lagi pemasukan. Dan akhirnya bubar. Investasi model beginian disebut skema piramid, alias pyramid scheme, atau ponzi scheme. Silakan googling sendiri kalo mau tau lebih banyak soal ini. Gue sendiri beberapa tahun yang lalu sempet iseng bikin blog tentang investasi model beginian, tapi udah lama gak gue update. Silakan diliat-liat di sini.
Tentunya dengan berjalannya waktu, orang semakin pinter bikin akal-akalan 'peluang investasi' sejenis. Maka mereka membuat seolah-olah ada produk riil yang diperjualbelikan, mulai dari e-book, voucher hotel, atau pulsa ponsel. Kita diiming-iming untuk bergabung dan menjadi 'reseller' produk-produk tersebut dan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat dari uang pendaftaran orang-orang yang kita rekrut.
Produsennya ada, produknya ada, konsumennya ada.
Lalu di mana salahnya?
'Salah'-nya adalah, apakah konsumennya riil.
Sekarang mari berpikir dengan kepala jernih dan pandangan obyektif: kalo elu ditawari 20 buah e-book berisi rahasia bisnis super dahsyat yang 'konon' nilainya mencapai Rp. 3 juta seharga hanya Rp. 200 ribu aja, apakah elu mau membelinya?
Mau?
Boss, sekarang ini eranya google, rapidshare dan 4shared. E-book macam apa sih yang nggak bisa kita dapetin secara gratisan? E-book itu kan ya... elektronic book, formatnya digital, nggak ada bentuk fisiknya. Artinya bisa dipindahtangankan dengan gampang lewat e-mail, rapidshare atau 4shared. Jangankan e-book 'rahasia bisnis' yang belum jelas ujung pangkal penulisnya. Komik-komik langka collector's item yang kalo dilelang bisa berharga ribuan dollar aja bisa dengan gampangnya kita sedot dari internet, kok. Jadi, sekalipun produknya betulan ada, konsumennya tidak riil. Maksud gue, nggak ada satupun orang yang waras dan/atau cukup berwawasan mau membeli produk-produk tersebut kalau tidak disertai embel-embel peluang mendapatkan keuntungan. Jangankan 200 ribu, disuruh bayar 10 ribu aja gue pun ogah. Dengan kata lain, yang dibeli orang bukanlah produknya, tapi peluang investasinya. Peluang investasi dengan produk yang tidak punya konsumen riil, bukanlah bisnis yang riil.
Lalu gimana dengan peluang investasi bisnis pulsa dan voucher hotel yang ditawarkan dengan cara yang sama?
Ada yang riil, ada yang enggak.Yang membedakan adalah harganya, dan sistem bagaimana elu bisa menarik keuntungan dari investasi tersebut.
Produknya mungkin aja riil berupa pulsa dan voucher hotel, tapi kalo harganya jauh di atas harga pasaran, maka kemungkinan itu bukanlah bisnis yang riil. Kenapa? Karena balik lagi seperti yang gue jelaskan sebelumnya: nggak ada konsumen yang mau membelinya kalau tidak disertai embel-embel peluang mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, kalopun ada orang yang beli, yang sesungguhnya mereka beli bukanlah produknya melainkan peluang investasinya.
Ciri ke dua dari bisnis yang tidak riil adalah: elu baru bisa mendapat keuntungan kalau ada member baru yang bergabung. Bisnis yang riil mampu menghasilkan keuntungan dengan kondisi stagnan / tidak berkembang. Contohnya, lagi-lagi, warung rokok. Kalo lu buka warung rokok, maka lu bisa dapet keuntungan setiap hari sekalipun lu hanya punya satu warung. Kalo lu punya duit lebih, lu bisa buka cabang dan memetik keuntungan lebih besar. Tapi kalo enggak, lu bisa bertahan dan terus memetik keuntungan dengan warung yang udah ada.
Tapi, gue tekankan sekali lagi, tetap ada aja peluang investasi dari bisnis pulsa dan voucher hotel yang riil kok.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah oriflame adalah bisnis yang riil?
Menurut gue, jawabannya adalah YA, karena:
- Produsennya riil, dan barang-barang yang ditawarkan dalam bisnis ini betulan hasil produksi dari produsen tersebut (bukan barang titipan). Proses produksinya juga jelas, dan punya sederetan sertifikat yang membuktikan kualitas barang-barang produksinya.
- Barang-barangnya riil, dalam arti betulan punya nilai market yang nyata. Apakah ada orang yang mau beli sabun mandi seharga 12- 15 ribuan, atau shampoo seharga 20 ribuan? Ada, bahkan banyak. Di supermarket juga bisa kita temukan produk-produk dari merk lain dengan harga setara. Selain itu, tidak semua pelanggan oriflame adalah member. Artinya, ada banyak orang yang mau terus membeli produk oriflame karena cocok dengan produknya, bukan karena tergiur iming-iming keuntungan.
- Sumber keuntungannya riil, yaitu berasal dari komponen paling dasar dari bisnis sejak jaman kuda gigit besi: selisih antara harga beli dan harga jual produk - dan bukan dari aktifitas merekrut. Di bisnis oriflame sama sekali nggak ada keuntungan langsung dari uang pendaftaran member baru. Lu boleh aja ngerekrut sejuta orang, tapi kalo nggak ada satupun dari mereka yang melakukan transaksi produk, maka keuntungan yang lo dapet adalah Rp. 0. Dan jangan kira satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan di oriflame adalah dengan merekrut member. Skema bisnisnya memungkinkan elu untuk menjalankan bisnis ini sendirian, tanpa merekrut satu orang pun, dan tetap mendapatkan keuntungan puluhan juta setiap bulannya.
Daripada kepanjangan, soal itu mending gue bahas di posting lainnya aja deh ya.
Komentar
Posting Komentar